Senin, 27 Oktober 2014


shalawat nabi
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ’”





Kisah Ulama:
Hasan al-Bashri berkata, “Sungguh saya telah berjumpa dengan beberapa orang, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham.” (Syarhus Sunnah, juz: 14).


Hammam bin al-Haris berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah diriku dengan sedikit tidur dan anugerahkan kepadaku bangun malam dalam ketaatan.” (Sifatus Shafwah, 3:22). Mungkin doa yang dipanjatkan Hammam ini tidak pernah terpikirkan di benak kita, bagaimana seseorang bisa terpikir berdoa kepada Allah agar dicukupi dengan sedikit tidur demi memanfaatkan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Kita lebih sering meminta agar tidur kita pulas dan nyenyak dan tidak jarang tertinggal shalat subuh di masjid.

Ibnu Aqil al-Hanbali mengisahkan perjalanannya menuntut ilmu dan fokus terhadap apa yang ia cita-citakan sehingga ia menjadi seorang ulama yang terpandang. Beliau mengatakan, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, tatkala lisanku telah membaca dan berdiskusi, mataku lelah membaca, maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan beristirahat dan berbaring. Sehingga aku berdiri dalam keadaan ide-ide yang banyak dalam benakku lalu, aku tuangkan ide tersebut dalam tulisan. Aku dapati kesungguhanku dalam belajar lebih kuat saat aku berusia 80 tahun dibanding waktu aku berumur 20 tahun.” (al-Muntadzim fi Tarikhil Umam, juz: 9).

Amir bin Abdul Qais rahimahullah melewati orang-orang pemalas dan senang menganggur. Mereka duduk berbincang-bincang tanpa arah, lalu menyapa Amir dengan mengatakan, “Kemarilah, duduklah bersama kami.” Amir menjawab, “Tahanlah matahari agar ia tidak bergerak, baru saya akan bergabung duduk-duduk dan berkelakar bersama kalian.” (Shaidul Khatir).

Terkadang untuk mengisi waktu agar lebih bermanfaat, para ulama melakukan hal-hal yang tidak lazim, yang mungkin kita pandang aneh, namun hakikatnya adalah untuk menyempurnakan usia mereka agar lebih berkah dan bermanfaat setiap detiknya. Sebagian di antara ulama salaf mewasiatkan kepada teman-temannya, “Apabila kalian pulang dari tempatku ini, maka berpencarlah (jangan berjalan bersama-sama). Karena kalian bisa memanfaatkannya untuk membaca Alquran (dengan hafalan kalian ed.). apabila jalan bersama-sama, pasti kalian akan ngobrol.” (Shaidul Khatir).

Nafi’, pembantu Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ditanya, “Apa yang dilakukan Abdullah bin Umar di rumah bersama keluarganya?” Dia menjawab, “Berwudhu setiap (waktu) shalat dan di antaranya adalah mushaf.” (Zadul Muslim, juz:3). Mungkin ada yang bertanya, “Apakah Abdullah bin Umar tidak berkomunikasi dengan keluarganya, apakah beliau tidak membantu keluarga dan mencari nafkah?” Kita berprasangka baik, tentu orang seperti beliau memenuhi hak anak dan istrinya, namun di waktu-waktu sela, ia selalu membaca Alquran untuk memanfaatkan detik-detik usianya sehingga Nafi’ menilai beliau dengan kebiasaannya tersebut.

Para ulama salaf juga mengisi waktu mereka dengan ilmu dan amal bahkan ketika hendak meninggal dunia. Ibrahim bin al-Jarrah berkata, “Imam Abu Yusuf al-qadhi rahimahullah sedang sakit. Saya pun menjenguknya. Saat itu dia tidak sadarkan diri. Ketika terjaga, beliau lalu bersandar dan mengatakan, “Hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?” Saya menjawab, “Dalam kondisi seperti ini?” Dia mengatakan, “Tidak mengapa, kita terus belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karena kita memecahkan masalah ini.” Lalu saya pulang, ketika baru sampai rumah, saya mendengar kabar bahwa beliau telah wafat.

Demikianlah para salafush shaleh, mereka memohon kepada Allah agar usia mereka penuh keberkahan dan membuktikannya dengan usaha yang serius agar waktu mereka adalah waktu yang bermanfaat. Mereka benar-benar fokus terhadap apa yang mereka cita-citakan dan berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkannya. Mereka juga memikirkan kepentingan orang lain dalam waktu-waktu sempit mereka. Semoga Allah merahamti mereka semua dan member taufik kepada kita untuk mencontoh mereka.

Senin, 20 Oktober 2014





Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia pilihan yang patut dicontoh dan diteladani dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-Qur’an beliau mendapatkan sebutan “Uswatun Hasanah” (suri tauladan yang baik). Sedikit demi sedikit Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat dengan cara menanamkan akhlak mulia dan beriman hanya kepada Allah SWT. 

Hal tersebut terkait dengan misi beliau yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang Artinya “Sesungguhnya aku diutus Allah SWT, untuk menyempurnakan (memperbaiki) akhlak manusia”. (HR. Ahmad). Dengan keluhuran budi dan akhlak yang mulia, akhirnya beliau berhasil membawa amanah yang dititipkan oleh Allah SWT untuk mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia ini, guna memberi kabar gembira serta membawa keselamatan hidup bagi umat manusia di dunia dan bahkan sampai di akhirat kelak. Hal itu sangatlah bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan makhluk lain penghuni alam semesta ini, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “Aku (Allah) tidak mengutus Kamu Muhammad, kecuali menjadi rahmat (membawa keselamatan) bagi sekalian manusia di alam ini.” (Q.S. Al Anbiya : 107)

Sabtu, 11 Oktober 2014





dekat dengan Allah SWT

Setiap manusia menginginkan kebahagian yang Abadi didunia maupun di akherat>kemewahan duniawi yang diperolehnya ternyata belum mampu memberikannya kebahagiaan yang Abadi.Ada kebahagiaan yang tak mampu disandingkan dengankemewahan duniawi yaitu kedekatan kepada Allah dan selalu merasa dekat, merasa diawasi, hingga apapun yang kita lakukan menjadi terkontroldan memiliki nilai positif dipandangan Allah SWT.Jika kita terkadang merasa diabaikan manakala sulit mencari telinga yang mampu menampung segala resah dan masalah yang sedang dialami, maka sesungguhnya telinga Allah akan selalu ada dan setiap saat mendengar keluh kesah hambaNYA.karena fitrah manusia adalah berkeluh kesah dan sebaik-baik berkeluh kesah hanyalah pada Allah SWT dan Allah SWT takkan pernah bosan mendengarkan hambaNYA yang meminta sebanyak apapun,

seperti firman Allah SWT

بيسميلاهيراهمانيراهيم

" Allah adalah Tuhan yang yang bergantung kepada-NYA segala sesuatu " (QS Al-Ikhlas, 112 : 2)

" Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan " (QS Al-Fatihah, 1 : 5)

Allah adalah tempat meminta segala sesuatu.Allah justru akan benci kepada hamba-NYA yang tak pernah meminta, karena termasuk kedalam hamba yang sombong. Karena sejatinya manusia tak mampu berbuat apa-apa melainkan karena kekuatan dari Allah SWT.
Jikakalau do'a kita belum dikabulkan, sebaiknya kita harus berprasangka baik (su'udzhon) kepadaNYA. Bisa jadi do'a tersebut tak baik untuk kita atau belum saatnya atau mungkin disimpan untuk di akherat kelak dan akan berbuah pahala. Senantiasa kita harus meyakini bahwa segala do'a yang kita Panjatkan akan di ijabah oleh Allah SWT, jika kita mengerti dan berprasangka baik kepadaNYA, InsyaAllah yakinlah bahwa Allah SWT begitu dekat dengan kita,

seperti FirmanNYA :

بيسميلاهيراهمانيراهيم

" Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-ku, maka hendaklahmereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. " (QS Al-baqarah, 2 : 186)

Ayat diatas menjelaskan kedekatan Allah dengan hambaNYA merupakan kedekatan yang sinergis, kedeketan yang aplikatif, tidak kedekatan yang hampa dan kosong, karena kedeketan ini terkait erat dengan amal shalilh yang ditunjukkkan oleh seorang hamba setiap harinya.Ungkapan lembut Allah " sesungguhnya Aku Dekat " merupakan komitmen allah SWT untuk senantiasa dekat dengan HambaNYA, kapanpun dan dimanapun mereka berada.Terlebih hamba_NYA melakukan pendekatan yang lebih intens dengan berbagai amal ke shalihan yang mendekat diri mereka lebih dekatdengan Rabb-nya.
Kasih sayang Allah begitu terasa, walaupun ketika kita dalam keadaan sulit sekalipun. Karena allah tak ingin kita lemah jika hanya memberikan kita kesenangan dan kemudahan dan Allah tak inginkan kita terus menerus berurai airmata tanpa diselingi kebahagiaan yang akhirnya kita memperoleh tanda " SYUKUR dan SABAR " dan tetap Istiqomah dalam menjalankan segala kehidupan di dunia ini.

Jumat, 10 Oktober 2014



Soal ilmu agama tak usah ditanya
aku selalu mengumbar syiar-syiar penuh dusta
imanku hanya disini, tapi disana
diluar malah aku tunjukkan tingkah kekafiran

Soal perbuatan baik buruk begitu paham
aku pun tak buta akan adanya surga neraka
namun hatiku penuh kemunafikan
Tuhan saja aku lalai atau pura-pura tak tahu

Kian dalam ku resapi
kian hina ku rasakan diri ini
relakah Engkau dengan keadaan ku yang seperti ini

Ibadah ku masih pas-pasan
maksiat masih saja dijalankan
ibadah sunnah malas dikerjakan
hal kebaikan sedikit sekali diamalkan
hal tidak bermanfaat justru menjadi kebiasaan
hal buruk masih saja dilakukan

Bagaiamana ini?
masa harus selalu begini?
apa maksudnya ini?
ujian yang seperti apa ini?

Kian hari ibadah ku kian terpuruk
disaat iman sedang terpuruk
kenapa jalan keburukan semakin banyak muncul?

Ya Rabb......
Aku tak ingin lepas dari genggaman-Mu
jangan Engkau lepaskan aku
aku tetap ingin di samping-Mu

Ya Rabb....
Terkadang aku iri dengan orang itu
kenapa jalan hidup mereka terlihat begitu mudahnya
mudah dalam menuntut ilmu
mudah dalam membuktikan kecintaannya kepada-Mu
tapi kenapa perjuanganku terasa susah melulu.......

Oh tidak.... celakalah aku
jangan sampai Engkau bilang kalau Engkau sedang melantarkanku
Celakalah aku jika Engkau sama sekali tidak melirikku
bagaimana mungkin aku bisa singgah dan bercengkrama dengan-Mu
sedangkan Engkau melirikku pun tidak
kepada siapa lagi ku harus mengadu?

Ya Rabb....
Ku ingin selalu dalam penjagaan-Mu
tamparlah aku jika menyalahi aturan-Mu
bimbinglah aku jika salah dalam mentaati-Mu
gandenglah tanganku agar tidak tersesat dari jalan pulang menuju-Mu

Minggu, 05 Oktober 2014





Nasihat para ulama terdahulu tentang pentingnya mempelajari Fikh (Syari’at) dan Tasawuf (Jalan sufi menuju Ma'rifat)
1. Imam Abu Hanifa/ Imam Hanafi (Pendiri Mazhab Hanafi) (81-150 H./700-767 M)
Dalam Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa: Ibn ‘Abideen said, seorang sufi, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam sebelum meninggal berkata: “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahuijalan yang benar”. Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq”.
2. Imam Malik (Pendiri Mazhab Maliki) (94-179 H./716-795 M)
Imam Malik (r): (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keteranganImam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195)
3. Imam Shafi’i (Pendiri Mazhab Shafi’i) (150-205 H./767-820 M)
Imam Shafi’i : ”Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
- Mereka mengajariku bagaimana berbicara.
- Mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut.
- Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf. (Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz. 1, hal. 341)
Nasihat Imam Asy-Syafi'I Rohimalloh :
“Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih & juga menjalani tasawuf, & janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan taqwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik”. [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
4. Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri Mazhab Hambali) (164-241 H./780-855 M)
Imam Ahmad (r): (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” (Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi)
Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)
5. Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 M)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’I dikenal dengan nama Imam al Ghazali lahir tahun 450 H/1058 M di propinsi Khurasan Irak. Beliau mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah sehingga digelar sebagai hujjatul Islam. Diantara banyak karya tasawuf yang beliau karang yang sangat terkenal sampai sekarang adalah Ihya Ulumuddin (Kebangkitan ilmu-ilmu Agama).
Imam Ghazali, tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].
Pendapat Imam Al Ghazali Tentang Pentingnya Mencari Syekh Mursyid sebagai pembimbing: “Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang Mursyid dan pendidikan spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak yang tercela”. “Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorangpun terbebas dari aib dan kesalahan kecuali para Nabi”. (Imam Al-Ghazali)
6. Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 M)
Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5 : menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid,p. 20]
7. Kanjeng Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said berpendapat melalui pagelaran wayang kulit sebagai media dakwah dengan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” Ma'rifat merupakan ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat. Di ibaratkan kalau manusia Raksasa penebar Angkara murka dan kejahatan kalau mewiridkan amalan ma'rifat atau diruwat Batara (maha Guru) akan berubah menjadi manusia Mulia.
8. Kemudian dikatakan Syaik Nabbani dalam kitab Sa’adatud Daroini yang berisi mengupas keutamaan sholawat:
“AGROBUT TURUQI ILLALLAH FI AKHIRI ZAMANI KATSROTUL ISTIQFAR WA SHOLAWATUL ‘ALANNABIY”
“Jalan yang paling dekat (menuju) kepada Allah pada akhir zaman, khususnya bagi orang-orang yang banyak dosa, adalah memperbanyak istiqhfar dan membaca sholawat kepada Nabi SAW”
Sependapat oleh Syekh Hasan Al-Adawi di dalam kitab “Dailul Khoiror” yang kemudian dibenarkan dan dan didukung oleh para Ulama Shufi lainya yaitu sebagai berikut:
”Sesungguhnya membaca Shalawat kepada Nabi SAW itu bisa menerangi hati dan mewushulkan kepada Tuhan Dzat Yang Maha Mengetahui perkara ghaib.”

Sabtu, 04 Oktober 2014




Si Mamas lagi manjat pohon kelapa tiba2 jatuh Gedebuk!! ,meliat gitu adiknya teriak:
"Buuuuuu,, ada Mas jatuh dari pohon kelapaaa !!"
"Brapa karat ,Nak?"
"Sekarat ,Buuuu.. !

Selasa, 30 September 2014







Para Ulama Betawie

 ULAMA BETAWI
Batavia 1910 
Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Termasuk belasan orang yang telah menjadi penghafal (hafidz).
Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.
Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Alhabsyi, putera Habib Muhammad Alhabsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid wanita ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Alhazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Alhamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Alhamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Perjuanjgannya kemudiann diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo alim ulama Betawi ke DPR menolak SDSB.
Keluarga Jamalullail termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluiarga Jamalulail. Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi jurudakwah yang handal. Mereka telah memelopori berdirinya surau-surau di Jakarta yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujitaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Usman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggbunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri.
Kanak-kanak yang mendengar beduk bergembira, lalu belarian ke jalan raya sambil bernyanyi. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui beduk. Akibatnya, seringkali lebaran dirayakan dalam waktu berbeda. Guru Mansyur memahami hal ini. Karena itu, ia memperdalam ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab.
Dalam adat Betawi, guru dipandang orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya. Ia menguasai kitab-kitab agama dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas guru ada dato’. Dia menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah guru ada mualim. Di bawah mualim adalah ustadz, pengajar pemula agama. Di bawah ustadz ada guru ngaji, yang mengajar anak-anak untuk mengenalk huruf Arab.

Minggu, 28 September 2014





sifat adil
Kata adil, artinya dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Misalnya dalam menetapkan hukum, yang salah disalahkan dan yang benar di benarkan, dengan tidak membedakan yang diadili. Sifat adil artinya, suatu sifat yang teguh, kukuh yang tidak menunjukkan memihak kepada seorang atau golongan. Adil itu sikap mulia dan sikap yang lurus tidak terpengaruh karena factor keluarga, hubungan kasih sayang, kerabat karib, golongan dan sebagainya.

Pengertian adil menurut Ilmu Akhlak antara lain sebagai berikut:
1.    Menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya.
2.    Menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak kepada orang lain tanpa kurang.
3.    Memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tidak kurang dan memberikan hukuman bagi yang melanggar hokum sesuaimdengan kesalahan pelanggarnya.

Sesungguhnya ALLAH SWT. maha adil dan ALLAH SWT menetapkan bahwa setiap manusia masing-masing bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan tidak memperoleh pahalah selain apa yang diusahakannya sendiri. Terhadap semua hasil seseorang itu, nantinya ALLAH SWT akan membalas dengan yang setimpal dan penuh keadilan.
Firman Allah di dalam Al-Qur’an yang mamarintahkan berbuat adil antara lain:
Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Berlaku adil harus diterapkan kapada siapa saja tanpa membedakan suku,agama atau status sosial.Bahkab perlaku adil diterapkan kepada keluarga dan kerabat sendiri.Sebagaimana firman Allah berikut ini
Al-Qur’an surat An-nisa Ayat 135
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia[361] kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan kepada hambanya yang beriman supaya menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan ditengah masyarakat.Berani menjadi saksi akrena Allah,walaupun yang menjadi tergugat dan terdakwa adalah diri sendiri,orang tua dan kerabat.
Oleh karena itu hukum harus diterapkan secara adil kepada semua masyarakat,karena sekali ada pihak yang merasa dizalimi dengan cara diperlakukan secara tidak adil,maka akan menimbulkan gejolak.Firman Allah lain tentang dali terdapat dalam surat An Nahl ayat 90
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku ADIL dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil pelajaran.”

Islam memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia. yaitu keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dicintai, dan keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dibenci. Sehingga perasaan cinta itu tidak bersekongkol dengan kebathilan, dan perasaan benci itu tidak mencegah dia dari berbuat adil (insaf) dan memberikan kebenaran kepada yang berhak.

Berlaku adil dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
1.        Berlaku adil kepada ALLAH SWT.
Berlaku adil kepada ALLAH SWT. artinya harus dapat menempatkan ALLAH pada tempat-Nya yang benar, yakni sebagai makhluk ALLAH SWT, dengan teguh melaksanaka apa yang  diwajibkan kepada kita, sehingga benar-benar ALLAH sebagai tuhan kita.
Untuk mewujudkan keadilan kita kepada allah, maka kita wajib beriman kepada ALLAH SWT, tidak menyekutukanNya dengan sesuatu yang lain, mengimani Nabi Muhammad SAW sebagai utusannya. menjunjung tinggi petunjuk dan kebenaran dari padanya, yaitu mengimani Al Qur’an sebagai  wahyu ALLAH, menaati ketentuannya yaitu melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya. Menyembah kepadanya yaitu melaksanakan Shalat, Zakat, Puasa dan sebagainya.
2.        Berlaku adil pada diri sendiri
Artinya menempati diri pribadi pada tempat yang baik dan benar. Untuk itu kita harus teguh, kukuh menempatkan diri kita agar tetap terjaga dan terpelihara daam kebaikan dan keselamatan. Jangan menganiayah diri sendiri dengan mengikuti hawa nafsu, minum-minuman keras, dusta, enggan berbuat baik dan jangan berbuat kemudharatan (keburukan) yang akibatnya akan buruk pula pada kesehatan, jiwa harta dan kehormatan diri. kita harus menjaga dan memelihara agar diri sendiri hidup selamat bahagia didunia dan diakhirat kelak. Kita harus jujur- terhadap diri sendiri, jika diri kita berbuat salah, kita harus berani mengoreksi.
3.        Berlaku adil kepada orang lain
Artinya menempatkan orang lain pada tempat yang sesuai, layak dan benar. Kita harus memberi hak orang lain dengan jujur dan benar, tidak mengurangi sedikitpun hak yang harus diterimah. Tidak boleh menyakiti dan merugikan orang lain, baik berupa material maupun non material. Kalau kita menjadi hakim, putuskanlah perkara yang adil. Kalau menjadi pelayan masyarakat, maka layanilah itu dengan baik dan adeil.
4.        Berlaku adil kepada makhluk lain.
Artinya dapat menempatkan pada tempat yang sesuai, misalnya adil pada binatang, harus menempatkannya pada tempat yang layak menurut kebiasaan binatang tersebut. Jika memelihara binatang harus disediakan tempat dan maka nannya yang memadai. Jika binatang itu akan dimanfaatkan untuk kendaraan atau usaha pertanian, hendaknya dengan cara yang wajar, jangan member beban yang malampaui batas. demikian pua jika hendak dimakan, maka hendaklah disembelih dengan cara yang telah ditentukan oleh ajaran agama, dengan cara yang baik yang tidak menimbulkan kesakitan bagi binatang itu. Menjaga kelestarian lingkungan juga termasuk berbuat adil kepada makhluk lain.

B.      Keutamaan Berbuat Adil
Keutamaan berbuat adil adalah
1.        Terciptanya rasa aman, tenang dan tentram dalam jiwa dan ada rasa khawatir kepada orang lain, karena tidak pernah melakukan perbuatan yang merugikan atau menyakiti orang lain.
2.        Membentuk pribadi yang dapat melaksanakan kewajiban dengan baik, taat dan patuh kepada ALLAH SWT, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya.
3.        Menciptakan ketenteraman dan kerukunan hidup, hubungan yang harmonis dan tertib dengan orang lain.
4.        Dalam memanfaatkan alam sekitar untuk kemasyalatan dan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.


C.  Bidang-bidang Keadilan

Beberapa bidang keadilan yang wajib ditegakkan, antara lain:
1.    Keadilan Hukum
Allah telah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan hukum, kendati pada diri dan keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa pandang bulu inilah yang juga diteladankan Nabi Muhammad Saw.

Diriwayatkan, pada masa beliau, seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah bernama Fatimah al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini membuat jajaran pembesar Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi hakim-nya.

Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong tangan terus menghantui mereka. Dan jika hukum potongan tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Lobi-lobi politis pun digalakkan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas dihamburkan untuk upaya itu.

Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai pelobi oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi. Melalui orang kesayangan Nabi ini, diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan Fatimah dari jerat hukun bisa tercapai. Apa yang terjadi?

Upaya lobi Usamah bin Zaid, orang dekatnya, itu justru mendulang dampratan keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati. Ketegasan Nabi dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, hatta oleh orang dekatnya. Untuk itu, Nabi lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Itulah ketegasan Nabi dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun.

 2. Keadilan Ekonomi

Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw misalnya bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.

Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:” Apa saja harta rampasan  yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (Surat al-Hasyr/59: 7).

Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata, “Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.”

Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri.

3. Keadilan Politik

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil (imamun adil), pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku takut kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)

Pemerintah atau pemimpin yang adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen bertanggungjawab pada warganya. Tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya berebut menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya. Namun prinsipnya, Islam memandang siapapun berhak menjadi pemimpin tanpa melihat latar belakangnya, hatta orang Habasyah (Etiopia sekarang) yang rambutnya kriting laksana gandum sekalipun. Dan, sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW, kepemimpinannya harus ditaati.

4. Keadilan Berkeyakinan

Islam memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan Muhammad Syahrûr menyatakan, percaya pada kekebasan manusia adalah satu dasar akidah Islam yang pelakunya dapat dipercayai beriman pada Allah SWT. Sebaliknya, kufr adalah tidak mengakui kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama.

Bukti kebebasan ini, antara lain: Allah SWT berfirman:” Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk”. (Surah al-Nahl/16: 125). Redaksi yang mirip bisa ditemukan juga pada Sûrah al-Najm/53: 30 dan Sûrah al-Qalam/68: 7.
Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…. (Sûrah al-Kahf/18: 29).


Sifat Tawadhu

Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:

Diantara sekian banyak akhlak serta sifat terpuji yang ditekankan oleh agama kita ialah sifat tawadhu (rendah hati). Dikarenakan akhlak mulia adalah inti ajaran Islam, maka tak salah kalau banyak ayat serta hadits yang menganjurkan hal tersebut, salah satunya sifat yang akan menjadi kajian kita kali ini, yaitu sifat tawadhu. Allah ta'ala berfirman:



﴿ وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨﴾ [ لقمان: 18]

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".  (QS Luqman: 18).



Dalam keterangan lain Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:



﴿ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِلۡمُؤۡمِنِينَ ٨٨ ﴾ [الحجر: 88]

"Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman".  (QS al-Hijr: 88).



Pengertian:

Yang dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah lembut. Dan ini tidak  akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji melainkan bila dibarengi karena mengharap wajah Allah azza wa jalla.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Kalau sekiranya ada orang bersikap tawadhu agar Allah Shubhanahu wa ta’alla mengangkat derajatnya dimata orang, maka ini belum dikatakan telah merengkuh sifat tawadhu, karena maksud utama perilakunya itu didasari agar mulia dimata orang, dan sikap seperti itu menghapus tawadhu yang sebenarnya".[1]

     Ucapan beliau didasari sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi MuhammadShalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ» [أخرجه مسلم]

"Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan (pasti) Allah akan mengangkat derajatnya". HR Muslim no: 2588.



Syaikh Abdurahman as-Sa'di mengomentari maksud hadits diatas dengan mengatakan: "Sabdanya: "Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah". Sebagai peringatan supaya memperbagusi niat, yaitu dengan didasari ikhlas karena Allah Nabi Muhammaddidalam sikap tawadhunya tadi. karena banyak dijumpai, ada orang yang terkadang menampilkan sikap tawadhu dihadapan orang kaya, namun, niatnya supaya bisa mengais sedikit dari hartanya, atau terhadap pimpinan supaya bisa tercapai keinginannya.

Ada pula yang menampilkan sikap tawadhu dengan tujuan riya' dan pamer, maka tujuan-tujuan semacam ini, semuanya rusak, tidak memberi manfaat sama sekali bagi pelakunya, kecuali rendah diri yang didorong rasa ikhlas karena Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam rangka mendekatkan diri kepada -Nya dan ingin meraih ganjaran serta kemurahan -Nya kepada makhluk, sehingga ihsan terbaik serta ruhnya itu ada pada ikhlas karena Allah ta'ala". [2]

Dan Nabi kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah pionir terdepan dalam akhlak mulia yang satu ini, untuk menggambarkan tawadhunya Nabi kita lihat pada haditsnya Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Diceritakan oleh beliau:



« أَنَّ امْرَأَةً كَانَ فِى عَقْلِهَا شَىْءٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى إِلَيْكَ حَاجَةً فَقَالَ « يَا أُمَّ فُلاَنٍ انْظُرِى أَىَّ السِّكَكِ شِئْتِ حَتَّى أَقْضِىَ لَكِ حَاجَتَكِ ». فَخَلاَ مَعَهَا فِى بَعْضِ الطُّرُقِ حَتَّى فَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا » [أخرجه مسلم]

"Ada seorang perempuan yang sedikit bermasalah otaknya berkata pada Nabi MuhammadShalallahu ‘alaihi wa sallam: "Wahai Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, saya ada keperluan sebentar denganmu". Nabi menyahut: "Ya Ummu Fulan, apa kebutuhanmu, hingga aku bisa membantu urusanmu". Maka beliau mengikutinya sedikit minggir dijalan kota Madinah, sampai perempuan tadi menyelesaikan keperluannya". HR Muslim no: 2326.



Masih kisah yang menjelaskan tawadhunya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Anas radhiyallahu 'anhu beliau menceritakan:



« إِنْ كَانَتْ الْأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءَتْ » [أخرجه البخاري]

"Pernah ada seorang budak yang berada dikota Madinah, menggandeng tangan Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu diajak pergi untuk membantu urusannya". HR Bukhari no: 6072.

Bahkan lebih mengesankan lagi dari itu semua, sebuah hadits yang dibawakan oleh al-Baghawi dalam syarhu sunah dari Aisyah radhiyallahu 'anha, diceritakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « آكل كما يأكل العبد وأجلس كما يجلس العبد » [أخرجه البغاوي في شرح السنة ]

"Aku makan sebagaiman makannya seorang hamba sahaya, dan aku duduk seperti duduknya seorang budak".  HR al-Baghawi 13/248. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no: 544.



Dalam redaksi lain, dikatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يا عائشة لو شئت لسارت معي جبال الذهب. أتاني ملك وإن حجزته لتساوي الكعبة, فقال: إن ربك يقرأ عليك السلام ويقول: إن شئت نبياً ملكاً وإن شئت نبياً عبداً, فأشار إلي جبريل ضع نفسك فقلت: نبياً عبداً » [أخرجه البغاوي]

"Wahai Aisyah, kalaulah sekiranya aku mau tentu ada gunung yang terbuat dari emas berjalan menemaniku. Telah datang kepadaku malaikat yang kain bagian bawahnya hampir setinggi Ka'bah. Dia mengatakan: "Sesungguhnya Rabbmu kirim salam kepadamu, dan berfirman: "Kalau engkau mau Aku jadikan seorang Nabi dan hamba, atau seorang Nabi dan malaikat". Lalu aku berpaling kepada Jibril 'alaihi sallam, dan ia mengisyaratkan padaku supaya rendah diri. Maka aku jawab: "Aku rela menjadi Nabi dan seorang hamba..". Hadits shahih diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam syarhu Sunah 13/348 no: 3683.



Tatkala Aisyah ditanya apakah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan pekerjaan dirumahnya? Beliau menjawab:



« قَالَتْ: نَعَمْ ,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيَخِيطُ ثَوْبَهُ وَيَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ كَمَا يَعْمَلُ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ » [أخرجه البغاوي]

"Ia, beliau biasa menambal sendalnya, dan menjahit bajunya sendiri, dan melakukan pekerjaan rumah seperti halnya kalian melakukannya dirumah kalian". Hadits shahih dikeluarkan oleh Baghawi dalam Syarhu Sunah 13/242 no: 3675.



Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bisa berdo'a:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مِسْكِينًا وَتَوَفَّنِى مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِى فِى زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَومَ القِيَامَة » [أخرجه الترمذي]

"Ya Allah hidupkanlah hamba dalam keadaan miskin, dan wafatkanlah dalam keadaan miskin, serta bangkitkan diriku bersama orang-orang miskin kelak pada hari kiamat". HR at-Tirmidzi no: 2352. Dinilai hasan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/275 no: 1917.



Tatkala ada seorang sahabat datang kepada beliau lalu memujinya sambil mengatakan: "Duhai sebaik-baik makhluk". Beliau justru menimpali: "Itu adalah Ibrahim 'alaihi sallam". HR Muslim no: 2369.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim dibawakan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, disebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَوْ لَبِثْتُ فِي السِّجْنِ مَا لَبِثَ يُوسُفُ ثُمَّ أَتَانِي الدَّاعِي لَأَجَبْتُهُ » [أخرجه البخاري و مسلم]

"Kalau seandainya aku dipenjara seperti Yusuf lamanya tatkala dipenjara, pasti aku akan tetap memenuhi tugasku ini (berdakwah)". HR Bukhari no: 3372. Muslim no: 151.

 Hal ini menunjukan bagaimana sikap tawadhunya beliau, karena beliau mendapat ujian yang tidak pernah ada seorangpun yang mendapat semisal dengannya.

Masih dalam riwayat Bukhari dan Muslim dibawakan sebuah hadits dari Abu Burdah, dirinya mengkisahkan: "Aisyah pernah keluar kepada kami sambil memegang baju dan jubah yang usang, lalu mengatakan: "Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dicabut ruhnya dalam keadaan memakai dua baju ini".  HR Bukhari no: 5818. Muslim no: 2080.

Dalam riwayat-riwayat diatas menjelaskan bahwa beliau adalah imam (pemimpinnya) orang-orang yang bertawadhu, dan ini tidak mengherankan karena tawadhu merupakan sifatnya para Nabi. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ: نَعَمْ ,كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ » [أخرجه البخاري]

"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan dirinya pasti pernah menggembala kambing". Maka para sahabatnya bertanya: 'Tidak pula engkau wahai Rasul? Beliau menjawab: "Tidak pula aku. Dahulu aku biasa menggembala dibebukitan miliknya penduduk Makah". HR Bukhari no: 2262.



Sehingga sangat wajar sekali bila Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi umatnya untuk bersikap tawadhu dan rendah diri. Sebagaimana haditsnya Iyadh al-Majaasyi'i radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ » [أخرجه مسلم]

"Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu padaku agar kalian bersikap rendah diri, hingga tidak ada seorangpun yang merendahkan saudaranya, dan tidak berlaku lalim satu sama lain".  HR Muslim no: 2865.



Salah satu petuah yang pernah diberikan Abu Bakar kepada kita ialah: "Kami mendapatkan kemuliaan akhlak ada pada takwa, kekayaan pada keyakinan, serta keluhuran pada rendah diri".

Dan Aisyah radhiyallahu 'anha pernah mengingatkan: "Sungguh betapa banyak orang yang lalai pada ibadah yang paling afdhal yaitu tawadhu".



Faidah sikap rendah diri:

1.     Salah satu jalan yang akan mengantarkan pada surga.

2.     Allah Shubhanhu wa ta’alla akan mengangkat kedudukan orang yang rendah diri dihati manusia. Dikenang kebaikannya oleh orang lain serta diangkat derajatnya diakhirat.

3.     Bahwa sikap tawadhu terpuji itu ditujukan pada orang-orang beriman, adapun pengumpul dunia serta orang yang sesat maka bersikap rendah diri terhadap mereka akan menjadikan kehinaan.

4.     Sifat tawadhu sebagai bukti akan keindahan akhlak serta pergaulannya.

5.     Bahwa sifat tawadhu merupakan sifatnya para Nabi dan Rasul. [3]

Akhirnya kita tutup kajian ini dengan ucapan segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah Shubhanahu wa ta’alla limpahkan pada Nabi kita Muhammad Shubhanahu, pada keluarga beliar serta para sahabatnya.